Sebuah Penantian
Eliz Widowati
Setiap aku melintas di jalan ini, aku selalu tertegun melihat sesosok anak gadis mungil menyibukkan dirinya dengan berjalan menghampiri dari satu mobil ke mobil lainnya. Lama aku mengamati. Anak gadis itu berpakaian kumuh, sobek disana-sini. Teriknya matahari tak menghalanginya berjuang mendapatkan rupiah. Sedetik ia mengelap peluh yang menetes, sedetik kemudian ia berjalan ke arahku.
“Mau es jeruk, dik?” tanyaku.
“Trimakasih, Mbak. Tapi saya nggak punya uang,” jawabnya dengan polos.
“Tidak apa-apa. Saya ikhlas kok,” kataku sambil menyodorkan kantong plastik es milikku.
“Trimakasih, Mbak,” balasnya. Dari wajahnya tergambar jelas bahwa ia amat letih.
“Siapa namamu, dik?”
“Diyah, Mbak,” jawabnya singkat.
“Saya Puan. Orang tuamu dimana dik?”
“Sudah meninggal.”
“Lantas, kamu tinggal dimana? Masih sekolah?” aku semakin tertarik mengobrol dengan anak ini.
“Dekat situ kok, Mbak. Masih,” ia selalu menjawab dengan kata-kata singkat, membuatku semakin penasaran.
“Kelas berapa dik?”
“2 SMP.”
“Di rumah sendirian dik?”
“Saya masih punya adik bayi, Mbak,”
Tertegun aku mendengar jawabannya. Kasihan.
“Mbak, saya pamit ya.”
“Mau kemana?”
“Pulang, Mbak. Mau kasih susu untuk adik,” jawabnya sembari beranjak meninggalkanku.
“Tunggu. Boleh ikut dik?” tanyaku pelan.
Lama kutunggu jawabannya.
“Boleh. Mari ikut saya, Mbak.”
Aku tak menyangka, sungguh sopan anak ini.
Sesampai di depan rumahnya, aku hanya bisa terpaku.
“Masuk, Mbak,” kata anak itu membuyarkan pikiranku.
Aku dipersilakan duduk, lalu ia meninggalkanku begitu saja. Tak lama kemudian sayup-sayup kudengar suara tangis bayi memecah hening siang ini.
“Seadanya saja ya, Mbak. Maaf, saya mau mengurus adik saya dulu,” katanya sambil menyuguhkan segelas air putih kepadaku.
Miris hatiku melihat kondisi rumah yang terbuat dari anyaman bambu ini. ‘Bagaimana anak ini dan adiknya akan bisa bertahan hidup kalau kondisi rumahnya saja seperti ini?’ tanyaku dalam hati.
Tak lama Diyah menampakkan dirinya dan duduk di sebelahku.
“Bagaimana kondisi adikmu dik?” tanyaku memulai percakapan.
“Baik kok, Mbak. Dion tidur lagi,” sahutnya sambil menatapku lekat-lekat.
“Namanya Dion ya? Oya, Mbak boleh tanya sesuatu?”
“Tanya apa?”
“Bagaimana orang tuamu bisa meninggal?” tanyaku hati-hati. Takut membuatnya sedih.
“Hmhh.. Begini Mbak, dulu keluarga saya adalah keluarga terpandang. Tapi tiba-tiba rumah kami disita oleh petugas bank dan kami terpaksa mengontrak di rumah sempit di seberang jalan sana. Lalu Ayah mencuri barang milik tetangga kami dan dipukuli habis-habisan hingga akhirnya tewas. Ibu yang terlalu berat memikirkan kehidupan keluarga kami tiba-tiba terkena serangan jantung dan tidak bisa tertolong lagi. Itu semua membuat aku harus merawat adikku yang masih berumur 7 bulan sendirian. Dan karena tidak bisa melunasi kontrakan rumah, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di gubuk ini, pemberian dari seorang yang baik hati, Mbak,” ceritanya panjang lebar.
“Oh..” jawabku singkat sambil mencerna apa yang baru saja ia katakan.
Keheningan kembali tercipta di antara kami.
Tiba-tiba terlintas di benakku sesuatu yang besar yang bisa membawa perubahan besar bagi hidupku dan juga hidup anak ini.
Akupun dengan sigap mengambil handphone dan berpamitan sebentar untuk menelepon suamiku.
Setelah selesai menelepon, aku masuk kembali ke rumah gubuk Diyah dengan hati lega dan wajah yang sumringah.
“Diyah, saya punya kabar baik untuk kamu,” kataku tiba-tiba.
“Ada apa?”
“Saya ingin membawa kamu dan adikmu pulang ke rumah saya.”
Ternyata Diyah merespon dengan baik tawaranku. Begitulah, akhirnya setelah 5 tahun menanti, kebahagiaan rumah tanggaku menjadi semakin lengkap dengan hadirnya Diyah dan Dion sebagai anakku.